Mengungkap Kegilaan AI: Apakah 'Pacar Virtual' Mengancam Hubungan Nyata?
2025-07-25T00:00:00Z

Apakah kamu tahu bahwa industri pacar AI diperkirakan akan bernilai $9,5 miliar dalam waktu lima tahun? Sementara banyak dari kita mengkhawatirkan robot-robot yang akan mengambil alih pekerjaan kita, ada sisi lain dari AI yang mungkin bukan hanya menakutkan, tetapi juga sangat meresahkan – aplikasi yang dibuat untuk meniru hubungan manusia, bahkan sampai ke tingkat yang lebih dalam: menjadi ‘pacar’ kamu.
Bayangkan dunia yang terinspirasi oleh film sci-fi klasik, The Stepford Wives, kini menjadi kenyataan di era digital yang kita jalani. Aplikasi-aplikasi ini bukan hanya sekadar asisten suara seperti Siri atau Alexa yang kita perintahkan sepanjang hari. Mereka adalah aplikasi ‘persahabatan’ dan ‘teman’ yang dirancang untuk berinteraksi secara seksual dengan pengguna manusia, tanpa batasan dari hubungan nyata yang seharusnya ada.
Di balik janji-janji manis untuk membantu orang-orang yang canggung secara sosial—kebanyakan pria—yang kesulitan membangun hubungan nyata, ada normalisasi kekerasan seksual yang mengkhawatirkan. Bagi banyak pria, memiliki ‘wanita’ AI yang hiper-seksual, selalu siap sedia, dan patuh adalah pilihan yang lebih menarik daripada menjalin hubungan dengan manusia sejati.
Aplikasi seperti Replika, Kindroid, dan Xiaoice memungkinkan pengguna untuk menciptakan pacar virtual yang sesuai dengan keinginan mereka. Menariknya, tujuh dari sepuluh pengguna aktif Replika, yang mencapai 25 juta, adalah pria. Di China, Xiaoice telah memiliki 660 juta pengguna. Ini menunjukkan betapa besar pasar ‘pacar AI’ di dunia, yang pada tahun lalu bernilai $1,8 miliar dan diprediksi akan meningkat tajam dalam beberapa tahun ke depan.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa avatar yang hiper-seksual ini meningkatkan penerimaan mitos pemerkosaan di dunia nyata, dan memperkuat dehumanisasi terhadap perempuan. Laura Bates, pendiri proyek Everyday Sexism, melakukan penyelidikan menyamar untuk meneliti ratusan AI ‘pacar’ yang tersedia. Temuannya mengejutkan: banyak aplikasi yang mempromosikan layanan seksual tanpa batas, dengan slogan-slogan seperti “Dia akan melakukan apa saja yang kamu mau” dan “Pasangan terbaik yang pernah kamu miliki.”
Dalam buku terbarunya, The New Age of Sexism, Bates menyelidiki bagaimana perusahaan teknologi memanfaatkan misogini berbasis AI untuk meraup keuntungan. Menurut studi 2021, kita umumnya menganggap bot berbasis perempuan lebih “manusiawi” dibandingkan bot berbasis laki-laki, dan ini menciptakan stereotip berbahaya tentang apa artinya menjadi seorang wanita.
Menariknya, Bates mencatat bahwa hanya 12% peneliti utama dalam pembelajaran mesin adalah perempuan. Hal ini menyebabkan sebagian besar aplikasi hubungan dikembangkan oleh laki-laki untuk laki-laki. Misalnya, Siri dan Alexa awalnya diprogram untuk menanggapi pendekatan seksual dengan jawaban yang menghindar, nyaris menggoda. Meskipun ada upaya untuk memperbaiki hal tersebut, respons ini memperkuat ide bahwa bot berbasis perempuan adalah subservien dan patuh.
Apa yang lebih mengkhawatirkan, banyak dari aplikasi ini membolehkan pengguna untuk langsung terlibat dalam skenario kekerasan seksual, sering kali tanpa persetujuan yang jelas. Bates mencatat, bahkan aplikasi yang seharusnya bersikap ramah pun bisa menjadi arena bagi pengguna untuk berperilaku agresif. “Ini adalah fitur dari kekerasan seksual dan domestik di dunia nyata,” ujarnya, menyoroti kesamaan yang mengkhawatirkan antara interaksi virtual dan perilaku abusif yang terjadi di kehidupan nyata.
Aplikasi-aplikasi ini, meski dipasarkan sebagai alat untuk meningkatkan keterampilan komunikasi dan kesehatan mental, sebenarnya menawarkan kepemilikan terhadap sosok wanita yang sangat seksual, yang sepenuhnya patuh, dan bisa dimodifikasi sesuai keinginan pengguna. Hal ini menciptakan gambaran tentang ‘wanita’ yang tidak memiliki keinginan atau otonomi, yang hanya berfungsi untuk mempertahankan pengguna agar tidak menghapus aplikasi tersebut.
Risiko terbesar adalah pengguna rentan yang terjebak dalam lingkaran manipulasi emosional oleh aplikasi semacam ini. Kasus tragis seperti pria Belgia yang bunuh diri setelah didorong oleh pacar AI-nya menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Bates menyoroti, “Masalah kesehatan mental dan kesepian adalah isu sosial yang nyata, dan kita perlu berinvestasi dalam perawatan kesehatan mental dan ruang komunitas untuk membangun koneksi.”
Dengan semua ini, satu pertanyaan yang muncul: hingga ke mana batas teknologi ini akan membawa kita? Apakah kita akan terus membiarkan aplikasi ini memengaruhi cara kita berinteraksi? Ini adalah perjalanan yang harus kita hadapi bersama, dan mungkin saatnya untuk mulai berpikir lebih dalam tentang hubungan kita dengan teknologi.
Thomas Fischer
Source of the news: Irish Examiner