Apakah Anda Berani Mencicipi Makanan yang Dicetak Menggunakan Mesin?










2025-07-27T08:54:20Z

Bayangkan jika makanan yang Anda konsumsi dicetak oleh mesin! Inovasi teknologi ini bukan hanya mimpi futuristik, tetapi kenyataan yang mulai mengubah cara kita melihat makanan. Dengan menggunakan printer makanan 3D, bahan-bahan bisa dicetak lapis demi lapis, menciptakan hidangan yang tidak hanya unik tetapi juga bergizi.
Teknologi pencetakan makanan 3D ini menggunakan bahan-bahan yang bisa dimakan seperti pasta, adonan, dan campuran makanan, dan mengubahnya menjadi bentuk tiga dimensi yang menarik. Dengan model digital, printer ini bisa menciptakan makanan yang dipersonalisasi dengan akurasi yang luar biasa. Dan yang lebih menarik, mayoritas makanan yang dicetak ini berasal dari sumber yang kaya nutrisi—artinya, saat Anda mencoba hidangan ini, Anda juga memberi tubuh Anda manfaat kesehatan.
Pasar makanan yang dicetak 3D sedang berkembang pesat, diperkirakan akan bernilai sekitar 437 juta dolar AS pada tahun 2024 dan bisa melesat hingga 7,1 miliar dolar AS pada tahun 2034. Namun, konsep ini masih terbilang baru di Afrika, dan masih banyak yang harus dilakukan untuk mengintegrasikannya ke dalam budaya makanan lokal.
Dalam sebuah studi oleh peneliti ilmu makanan Oluwafemi Ayodeji Adebo dan akademisi pemasaran Nicole Cunningham, mereka mengungkapkan hasil survei tentang bagaimana konsumen di Afrika Selatan memandang makanan yang dicetak 3D. Namun, apa sebenarnya pencetakan makanan 3D itu dan mengapa penting?
Dalam pencetakan makanan 3D, bahan makanan yang bisa dimakan diracik menjadi material yang bisa dicetak atau dikenal sebagai 'food ink'. Food ink ini dapat berasal dari sayuran yang dihaluskan, adonan, atau campuran kaya nutrisi lainnya. Setelah dimuat ke dalam printer 3D, food ink ini dikeluarkan dalam lapisan hingga bentuk yang diinginkan terbentuk. Setelah pencetakan, beberapa produk siap untuk disantap, sementara yang lainnya memerlukan pengolahan lebih lanjut seperti memanggang atau pengeringan beku.
Metode paling umum yang digunakan adalah pencetakan berbasis ekstrusi, yang dihargai karena kesederhanaan dan fleksibilitasnya. Dengan teknik ini, makanan bisa disesuaikan secara personal, baik dari segi tekstur, penampilan, maupun konten nutrisi. Dan yang lebih menarik, teknologi ini juga berpotensi mengubah limbah makanan menjadi produk yang bisa dimakan. Misalnya, brokoli dan wortel yang tidak sempurna bisa diubah menjadi camilan sehat, dan kulit kentang bisa dijadikan mie.
Teknologi ini sangat bermanfaat untuk diet yang dimodifikasi teksturnya bagi orang-orang yang mengalami kesulitan menelan, terutama lansia. Hidangan yang tersedia untuk mereka seringkali tidak menarik, seperti kentang tumbuk dan bubur. Dengan pencetakan makanan 3D, kita bisa menciptakan makanan yang lebih bergizi, lebih mudah dikonsumsi, dan tentunya lebih menggugah selera.
Di Afrika Selatan, berbagai jenis makanan bisa diubah menjadi food ink, menjadikannya peluang luar biasa untuk menghasilkan makanan baru yang bergizi. Misalnya, sorgum, kacang cowpea, dan quinoa telah digunakan untuk membuat biskuit yang lebih bergizi dibandingkan dengan tepung terigu dan bebas gluten.
Pusat Penelitian Makanan Inovatif di Universitas Johannesburg telah menunjukkan kelayakan menciptakan produk 3D dari berbagai sumber, termasuk biskuit dari tepung biji-bijian utuh dan makanan bergizi lainnya untuk pasien dengan kesulitan menelan.
Namun, teknologi pencetakan makanan 3D di Afrika Selatan masih berada di tahap awal dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Cina, Jepang, dan Amerika Serikat. Beberapa perusahaan terkenal yang telah mengadopsi teknologi ini termasuk BluRhapsody dari Italia yang memproduksi pasta yang dicetak 3D, dan Open Meals dari Jepang yang mengkhususkan diri dalam sushi yang dipersonalisasi.
Dalam studi kami, kami mencoba memahami sikap konsumen Afrika Selatan terhadap makanan yang dicetak 3D. Meskipun teknologi ini belum banyak digunakan, kami menemukan bahwa beberapa konsumen cukup mengetahui tentang makanan ini dan manfaatnya. Temuan ini membuka peluang bisnis untuk memasarkan produk yang dicetak 3D di kawasan ini.
Survei kami melibatkan konsumen Afrika Selatan berusia 18-65 tahun yang sudah familiar dengan konsep makanan yang dicetak 3D. Kami mengumpulkan 355 tanggapan, sebagian besar berasal dari perempuan berusia 24 hingga 44 tahun. Mereka memberikan informasi dan pendapat tentang berbagai aspek, termasuk kesadaran mereka tentang makanan yang dicetak 3D, kenyamanan yang ditawarkan, hingga pandangan mereka tentang kebutuhan kesehatan mereka.
Sikap positif paling kuat di antara mereka yang menyadari manfaat kenyamanan dan kesehatan dari teknologi baru ini. Potensi untuk mengurangi limbah, menyesuaikan nutrisi, dan menyederhanakan persiapan makanan menjadi motivasi utama. Menariknya, familiaritas dengan makanan tidak berperan signifikan dalam respons orang-orang. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak terikat pada makanan tradisional saat membentuk sikap terhadap makanan yang dicetak 3D.
Hasil ini menunjukkan pentingnya edukasi dan kesadaran konsumen dalam membentuk sikap terhadap makanan yang dicetak 3D. Ketidakpahaman tentang teknologi bisa menimbulkan keraguan, tetapi penelitian menunjukkan bahwa konsumen tidak sepenuhnya menolak inovasi. Mereka hanya perlu mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Jika produsen dan pemasar makanan berinvestasi dalam meningkatkan pengetahuan publik dan menawarkan pengalaman langsung seperti mencicipi, demonstrasi, atau proses produksi yang transparan, sikap konsumen bisa berubah positif.
Pendekatan ini telah menunjukkan harapan di pasar lain. Misalnya, kampanye edukasi di Eropa dan AS mengenai daging yang ditumbuhkan di laboratorium dan protein nabati telah meningkatkan persepsi publik seiring waktu. Pemasar harus berbicara tentang keamanan, kesehatan, dan keberlanjutan, serta mendemystifikasi teknologi dengan pesan yang jelas dan menarik. Di negara-negara yang menerapkan strategi tersebut, konsumen menunjukkan keinginan yang lebih besar untuk mencoba teknologi makanan baru. Ini sangat signifikan mengingat proyeksi pertumbuhan di industri ini.
Jika konsumen Afrika Selatan melihat makanan yang dicetak 3D dengan lebih positif, inovasi ini bisa membuka peluang untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengatasi malnutrisi, dan mendukung solusi diet yang dipersonalisasi.
Elena Petrova
Source of the news: The Conversation